Selective Mutism? Membaca judul tulisan ini, mungkin teman-teman akan mengerenyitkan dahi. Apa itu ? Lalu apa pula hubungannya dengan IndiHome? Hmm.. terdengar seperti sebuah artikel pesanan, ya? Padahal tidak!. Tetapi dalam artikel ini akan saya ceritakan bagaimana kami berusaha terbebas dari dunia terbatas karena selective mutism dengan bantuan Internetnya Indonesia.
Baiklah, mari kita mulai cerita perjuangan kami yang panjang lagi seru ini
Mengenal Selective Mutism Istilah yang Masih Asing
Table of Contents
Sama seperti yang terjadi pada teman-teman, saya pun berpikir keras untuk mengerti dua kata yang tertulis dalam lembar laporan psikotest anak kedua saya, saat masuk SMP tahun 2018. Psikotest menjadi salah satu rangkaian test yang harus dijalani semua siswa di SMP Al Firdaus Surakarta.
Test ini pada dasarnya untuk mengetahui minat, bakat dan kecenderungan semua siswa, sehingga sekolah akan lebih mudah memfasilitasi semua siswa untuk melejitkan potensi mereka masing-masing. Jika ditemukan sesuatu yang janggal atau tidak wajar, sekolah juga akan lebih mudah membantu siswanya untuk mengatasi masalah yang ada. Jika masalah ini bersifat menetap, siswa akan dibimbing untuk menyesuaikan diri dan tetap mengasah kelebihan yang dimilikinya.
Hasil psikotest yang Mengejutkan
Pada halaman depan, terdapat laporan mengenai kelebihan yang dimiliki, nilai IQ yang berdasarkan test, lalu kekurangan-kekurangan, lengkap dengan saran mengatasi kekurangan tersebut. Pada bagian akhir terdapat catatan khusus. Dari sinilah saya tahu bahwa anak saya memiliki kecenderungan (dugaan) mengalami gangguan Selective Mutism. Keterangan singkat yang ditulis di dalam laporan tersebut adalah keadaan diam dalam lingkungan tertentu, biasanya sekolah atau lingkungan baru.
Berusaha melihat ke belakang
Membaca keterangan singkat ini, saya berusaha flashback ke berapa tahun sebelumnya. Iya, sih, waktu playgroup kerap kali ia merengek, tak mau memakai baju seragam, atau menangis keras tampa alasan. Itu terjadi pada menit-menit awal jam masuk sekolah. Biasanya setelah 15 – 30 menit kerewelan ini akan reda dan ia akan bermain seperti anak-anak lainnya. Hanya saja ia memang lebih banyak diam dan mengamati temannya bermain. Sesekali memang ikut dalam permainan, tetapi bukan sebagai pemain yang aktif.
Menggali dan Memahami Seluk beluk Selective Mutism
Dengan sedikit gamang, berkas laporan saya masukkan kembali ke dalam amplop. Pikiran saya mengembara, berlompatan pertanyaan demi pertanyaan yang semua belum saya temukan jawabannya. Masih dalam kebingungan langkah saya belokkan ke arah perpustakaan sekolah, siapa tahu di sana bisa saya temukan jawaban kebingungan saya.
Sayangnya, di deretan buku bertema kesehatan atau psikologi tidak saya temukan buku yang spesifik berjudul Selective Mutism. Masih penasaran dengan istilah yang baru saya kenal, dalam perjalanan pulang saya singgah ke dua toko buku besar di kota saya. Lagi-lagi buku yang saya maksud tidak berhasil saya temui. Bahkan karyawan toko buku sepertinya juga asing dengan istilah itu. Kalau begitu saya akan mencarinya di internet.
Berselancar di Dunia Maya bersama Internetnya Indonesia
Nah, mulailah petualangan saya bersama IndiHome dimulai. Sebenarnya keluarga kami sudah lama mendapat manfaat internet untuk kegiatan usaha suami saya. Hanya saja saya sendiri jarang sekali memanfaatkan jaringan internet terbatas di lingkungan rumah kami. Saya katakan terbatas, karena kala itu Telkom Speedy baru terpasang pada satu perangkat komputer di salah satu ruangan tempat suami saya menjalankan usahanya. Maklum kebutuhan jaringan internet juga belum seperti sekarang ini, saat itu hanya sebatas mengrim email dan mengunggah laporan. Jadi cukup wajar kalau tiga tahun setelah peluncuran IndiHome kami masih mengguanakan produk jaringan internet instan edisi lama, haha. Nah, perangkat komputer inilah yang kemudian saya pinjam untuk searching informasi seputar Selective Mutism. Jangan tanya kenapa tidak menggunakan smartphone saja? Hehe handphone yang saya miliki waktu itu belum terlalu memadai untuk berselancar secara leluasa. Bukan hanya kemampuan perangkatnya yang tidak prima, keterbatasan kuota internet juga menjadi kendala.
Belajar dari Cara Penanganan Anak dengan Selective Mutism di Luar Negeri
Saat itu saya seperti tidak sabar mendapat pencerahan apa itu selective mutism. Kalau diterjemahkan secara langsung dengan google translate keluar jawaban, yaitu bisu selektif. Tentu saja jawaban itu belum cukup bagi saya. Mengapa bisu selektif bisa terjadi? pada situasi apa bisu berlaku? dan tentu saja yang paling membuat saya semangat mencari informasi adalah bagaimana keluar dari situasi tidak biasa ini.
Saya mengklik kata kunci Selective Mutism, dan keluar berderet literasi tentang hal itu. Jumlahnya tidak banyak dan sebagian besar dalam bahasa Inggris. Kalaupun ada yang berbahasa Indoensia itu juga hasil penelitian mahasiswa yang diturunkan dalam bentuk jurnal ilmiah. Padahal, jujur saja saya berharap mendapat artikel listicle atau deretan tips yang akan lebih mudah saya ikuti.
Pantang menyerah, saya pun mulai memilah sumber informasi dan mencari yang paling layak saya jadikan rujukan. Adalah https://selectivemutismcenter.org/, laman khusus tentang selective mutism yang dibuat oleh Dr. Elisa Shipon-Blum dari Pennsylvania, USA. Dari sini pikiran saya mulai terbuka dan terisi referensi seputar bisu selektif ini. Informasi yang saya dapat dari situs ini bahwa 1 dari 140 anak di seluruh dunia mengalami gangguan bisu terseleksi. Gejala awal terlihat pada anak usia 1-4 tahun. Angka perbandingan rata-rata anak perempuan dengan anak laki-laki yang mengalami ganguuan ini adalah 2:1, dan sekitar 70% dari penderita Selective Mutism juga mengalami gangguan kecemasan lainnya.
Di negara Paman Sam, kasus Selective Mutism sudah bayak dijumpai, itulah mengapa angka prevelensi penderita juga telah terukur. Di sana sudah banyak kelompok-kelompok support center, Beberapa diantaranya memiliki program tetap dan terjadwal untuk membantu anak dengan Selective Mutism. Bentuk bantuannya berupa konsultasi, terapi, dan kegiatan bersama semacam camping remaja.
Dengan bantuan paket internet berkecepatan 512 kbps dari Speedy waktu itu, saya salin artikel-artikel sepanjang ribuan kata. Lalu saya potong-potong menjadi beberapa bagian supaya bisa masuk dalam kolom terjemah Google translate. Setelah itu saya simpan dalam file baru supaya mudah saya pelajari. Saya juga mengunduh beberapa hasil penelitian mahasiswa di Indonesia yang tersimpan dalam bentuk jurnal ilmiah. Berbekal inilah saya mulai mendalami ganguan yang dialami anak kedua saya.
Berusaha Membantunya Keluar dari Keterbatasan
Secara umum saya memahami Selective Mutism sebagai sebuah gejala dari rasa cemas yang dialami anak-anak. Pada umumnya selective mutism diderita pada masa balita hingga anak-anak saja (2 – 8 tahun), namun ada juga kasus di mana diam dengan sengaja pada tempat dan lingkungan tertentu dialami sampai dewasa. Nah, inilah yang saya khawatirkan. Masa remaja hingga dewasa anak-anak akan membutuhkan ruang lebih luas untuk bertumbuh dan berkembang. Rasa malu dalam taraf yang berat ini bisa saja menghambat proses belajar di sekolah atau pengalaman berinteraksi dengan teman.
Pelan-pelan saya ajak diskusi, saya tunjukkan hasil psikotes. Secara umum keunggulan dia lebih banyak, dibandingkan kekurangannya. IQ tercatat ada di angka 131, kepribadiannya penyayang, perhatian, dan gigih pendirian. Selective Mutism yang dialaminya bisa diatasi dengan beberapa latihan. Mungkin akan memakan waktu lama, tetapi akan menjadi lebih baik dibandingnkan dengan embiarkan saja gangguan itu. Jika kebiasaan diam dan minim respon pada sebuah situasi, bukan tidak mungkin akan terhambat proses belajarnya, bahkan menjadi hambatan di dunia kerja.
Pentingnya Support Sistem yang Kuat
Saya menawarkan bagaimana cara saya menolongnya supaya ia bisa terbebas dari gangguan ini. Ada beberapa pilihan yang saya tawarkan, seperti berkonsultasi pada psikolog atau pskiater. Kemungkinannya ia akan mengikuti serangkaian test dan terapi. Pilihan lain mengatasinya secara mandiri dengan panduan dari ahli. Anak saya memilih opsi kedua, dan keberatan kalau harus dibawa ke psikolog atau psikiater.
Baiklah, sesuai keinginannya saya akan membantu anak kedua saya melakukan terapi mandiri lepas dari gangguan Selective Mutism. Supaya langkah-langkah yang kami ambil lebih terukur saya berkonsultasi pada teman yang berprofesi sebagai Psikiater. Ketika menyampaikan saran psikiater ini, saya katakan sebagai “saran teman mama”. Bukan hendak menutupi, tetapi istilah teman membuatnya merasa lebih nyaman.
Apa yang saya baca dari berbagai literasi satu persatu saya coba untuk melatih keberanian, kemandirian dan menghalau rasa takut.
Dukungan Keluarga Adalah Salah Satu Kucinya
Support keluarga diberikan dengan maksimal, semua sepakat untuk menghargai sesuatu yang berbeda ini dan memberi lebih banyak ruang untuk berlatih. Saya mulai sering meminta dia membukakan pintu ketika ada tamu, atau meminta tolong mengantar sesuatu ke tetangga.
Saya tekankan juga bahwa Selective Mutism bukan penghalang untuk maju. “Senyamanmu saja, Le. Jangan jadikan bicara sebagai sebuah beban”. Saya pun mulai memberinya masukan kapan berbicara menjadi sebah keharusan. Di sekolah, menjawab pertanyaan guru di kelas wajib dilakukan. Bukan masalah bisa menjawab pertanyaan atau tidak, tetapi merespon secara positif adalah bentuk penghargaan kembali pada seseorang yang menghargai kita.
Home Base Learning di Masa Pandemi Sebagai Ajang Berlatih
Ini salah satu barokahnya pandemi Covid-19, di mana sekolah lebih banyak dilakukan secara daring. Banyak hal yang harus dilakukan secara mandiri oleh siswa, termasuk anak kedua saya. Home base Learning, memungkinkan ia sekolah dari rumah. Diskusi-diskusi kelas kini dilakukan dari sudut kamar yang sudah sangat ia kenali. Awalnya memang hanya sebatas menjawab absen “Hadir, Bu” lama-kelamaan ia mau menjawab pertanyaan dan terlibat diskusi (meskipun tidak seaktif teman-teman lainnya).
Bersyukur jaringan Internetnya Indonesia lancar jaya, dengan demikian ia bisa menjelajah dunia tanpa harus menatap muka orang-orang yang mungkin ditemuinya di dunia nyata. Ia bebas bertanya tanpa sungkan pada guru pembimbing tentang tugas proyek yang sedang ia garap. Internet memberi kesempatan luas padanya untuk berlatih bicara dengan orang lain dalam lingkungan yang lebih luas. Kemudahan menyetor hapalan Al Qur’an dengan voice note membuat tilawahnya makin lancar. Alhamdulillah wasyukurilah, pembatasan bertemu orang secara langsung (social distancing) menjadi ajang baginya berlatih.
Kini Lihat Progress yang Luar Biasa
Satu sore, saya kaget karena terdengar seperti orang mengobrol dari kamarnya. Rupanya ia sedang mabar bersama beberapa teman. Lain waktu, psikolog sekolah yang menceritakan kalau anak saya belum lama ini berkonsultasi tentang jurusan di SMA. Masya Allah, jika dulu menjawab chat di whatsapp saja tidak berani, kini bahkan ia punya inisiatif untuk konsultasi. Buat saya ini perkembangan yang luar biasa.
Sementara itu keberanian dia bertemu dengan orang baru secara langsung ikut berubah ke arah yang lebih baik. Yang membuat saya takjub adalah ketika dia periksa ke dokter sendiri. Buat saya ini sungguh luar biasa. Ia harus melewati bagian administrasi, lalu masuk ke ruang periksa. Tak hanya itu, ia harus menyebutkan nama, umur, berat badan. Lalu menyampaikan keluhan, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan, sampai pada serah terima resep dan melakukan pembayaran.
Terima Kasih IndiHome!
Akhirnya saya perlu mengakui dan bersyukur atas keberadaan IndiHome dari Telkom Indonesia. Buat anak kedua saya, mungkin internet ibarat tangan yang menggandengnya berjalan lurus ke depan, menghadapi apa yang ada sebagai sebuah kenyataan. Dan kenyataan memang harus dihadapi, bukan dihindari atau malah sembunyi. Kemudahan akses ke berbagai sumber informasi membuat dia jadi lebih percaya diri. Berbekal ilmu yang ia baca dari mana saja, ia jadi punya bahan untuk menjawab pertanyaan. Wawasan yang makin luas membuat ia makin percaya diri. Pada awalnya kepercayaan dirinya ini pelan-pelan terbangun lewat interaksi secara virtual. Lambat laun, tak terlalu jauh beda interaksi secara online atau langsung tatap muka. Ia makin merasakan bahwa sebuah interaksi bukan lagi menjadi hal yang menakutkan, bicara menjadi hal ringan meskipun dengan orang baru.
Manfaat internet makin terasa ketika sekarang saya berselancar di dunia maya. Sekarang sudah banyak artikel yang menulis tentang hal ini. Akun-akun peduli gangguan ini juga bertebaran di media sosial. Sebutlah akun Instagram @selectivemutismassociation, @selectivemutismcenter @selectivemutismsupport dan banyak lagi yang lain. Saya rasa ini cukup membantu siapa saja yang ingin tahu lebih banyak tentang gangguan kecemasan ringan ini.
Karena Manfaat Internet Tanpa Batas, Bebaskan Dirimu dari Dunia Terbatas
Ini adalah bagian akhir dari pengalaman membersamai anak saya keluar dari dunia terbatas karena kungkungan Selective Mutism. Keberadaan internet menjadi sedemikian istimewa dalam episode kisah hidup seorang remaja. Internet menjadi jembatan buat dia untuk lebih mengenal dunia. Mengenal dengan kecepatan yang dia ukur senyamannya. Dan ketika ia sudah cukup terlatih, ia tahu kapan saatnya ke luar dari dunia terbatas.
Cerita ini menjadi semacam cambuk bagi kita untuk lebih banyak bersyukur. Kalau kadang masih mengeluhkan speed yang kurang dari sebuah jaringan, atau merasa ikut mati (gaya) saat internet mati, duh, kasihan sekali. Coba sekarang kalimatnya dibalik, kalau internetnya kurang cepat, coba tambah kecepatan dan ketepatan berpikir kita supaya hasilnya jadi seimbang, bisa, kan? Atau bisa juga, saat internet mati, maka kreativitas kita harus menyala. Ini baru sebanding namanya, kan?
Jika manfaat internet kita sepakati tanpa batas, maka jangan sampai kita membatasi diri kita dengan ukuran-ukuran yang kita buat sendiri. Lihatlah dunia tanpa batas dengan kemudahan yang kita dapatkan. Jadikan itu sebagai bahan untuk membuat diri lebih berarti, lebih produktif berkarya dan lebih bermanfaat untuk orang lain.
Salam Hangat,
Sitatur Rohmah
Note :
Cerita terapi mandiri lepas dari Selective Mutism ini bisa dibaca di buku “365 Hariku Bersama Ananda” yang terbit akhir tahun 2019
Komentar Terbaru