Sore menjelang maghrib dua remaja masih memainkan gawai di tangan mereka. Sang ibu dengan lembut mengingatkan keduanya untuk berhenti dan mandi, lalu bersiap sholat maghrib. Keduanya bergeming seperti tidak terdengar suara apa-apa ditelinga mereka.
“Ayo, kakak. Matikan HP dan mandi dulu” kali ini Ibu berbicara di dekat telinga. Sedikit kaget, yang dipangil kakak menjawab tanpa melihat ibunya.
“Bentar, Ma, satu belokan lagi aku sampai finish, tanggung nih, udah level 9 soanya, satu level lagi kan dapat diamond” jawabnya cepat dengan tetap memainkan game di tangannya.Sang ibu berpindah pada anak perempuan yang duduk tak jauh dari kakaknya. Ia memakai headphone berwarna gold yang ikut bergoyang ketika ia mengangguk anggukkan kepala. Kali ini ibunya menggelang dan melepas headhone dari telinganya.
“Udah hampir maghrib, Dik, ayo mandi dulu”
“Oke, kakak dulu ya, Ma. Habis itu baru aku yang mandi”***
Hayo, cung! yang sering melakukan itu kalau dipanggil ortu. Padahal sudah jelas siapa yang lagi bicara dan kapan waktunya. Lalu bagaimana sih, seharusnya? Apa sih, pentingnya melakukan segala sesuatu berdasarkan kebiasaan nenek moyang. Kalau di jawa disebut dengan unggah ungguh, kalau di tempatmu apa namanya?
Pentingnya Belajar Adab
Table of Contents
Apa yang terpikir ketika melihat anak yang mengulurkan sesuatu pada orang lain mengunakan tangan kiri? Apa yang terbersit dipikiran kita ketika kepada orang tuanya seorang anak bicara setengah berteriak seolah terdengar menghardik? Apa pula yang akan kita katakan pada sekelompok anak muda bersepeda motor di sebuah gang sementara ada orang tua duduk di balai mereka lewati tanpa permisi?
Ada banyak pemandangan seperti ini di sekeliing kita, melakukan apa yang kita sebut dengan melanggar norma, norma kesopanan lebih tepatya. Sementara para pelakunya melenggang santai seolah tidak terjadi apa-apa, seolah yang dilakukan baik-baik saja. Jawabanya adalah pada pergeseran “nilai” yang dianut atau dipegang sebagai panduan generasi milenial dalam bertingkah laku sehari-hari. Apa yang dekade lalu sesuatu yang tabu, saat ini sudah menjadi hal yang awam dilakukan, bahkan tanpa malu-malu.
Baca juga : Syafakallah atau Syafakillah?
Pergeseran nilai seperti yang saya tulis di atas, bisa jadi disebabkan para pendahulu mereka (orang tua, pendidik dan lingkungan) tidak mengajarkan secara utuh nilai-nilai kebaikan tersebut pada generasi di bawahnya. Lambat laun nilai yang zaman dulu dijunjung tinggi, makin terkikis makin menipis dan kini tinggal cerita usang yang membuat bosan ketika diperdengarkan.
Padahal, berlaku sopan tidak hanya bertujuan menghargai orang lain, tetapi juga menempatkan diri kita pada tempat terhormat. Karena sejatinya menghormati orang lain sama halnya menghorati dan menghargai diri kita sendiri. Lalu bagaiman jika pergeseran nilai itu dibiarkan berlarut? Saya sedikit ngeri membayangkan jika itu benar terjadi. Mungkin akan seperti zaman batu, yang orang berhati keras sekeras batu. Tidak aka ada yang tahu apa itu empati, peduli, hormat menghormati, tolong menolong, dan banyak lagi norma yang membuat manuasia menjadi makhluk beradab.
Akankah kita kembali ke zaman purba yang kata para ilmuan digambarkan seperti perkumpulan kawanan kera? Gerombolan binatang yang hanya mengerti nafsu dan memenuhinya tanpa rasa?
Sebelum terlambat, mari kita buat mata rantai yang jangan sampai terputus dari generasi ke generasi, hingga sampai waktunya dunia ini mati, manusia akan tetap menjadi khalifah di bumi.
Baca juga : Jangan Mau Jomblo Abadi, Perbaiki 3 Hal ini
Merangkum Masalah Belajar Adab Menjadi Buku
Melalui post blog bersambung ini saya ingin merangkum nilai-nilai yang diajarkan leluhur kita, dari yang sederhana seperti bagaimana bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari, sampai pada adab berkomunikasi dan berinteraksi. Harapan saya, kumpulan post blog in akan bisa diterbitkan menjadi sebuah buku. Semoga (jika buku sudah terbit) bisa jadi panduan bagi generasi milenial tentang all about manners, sekaligus menyerahkan tongkat estafet nilai tersebut untuk kelak mereka teruskan pada anak cucu mereka.
Diantara yang akan saya gambarkan bagaimana seharusnya bersikap adalah tentang bagaimana tata cara orang kuno (eyang kita) makan minum, berbicara, berjalan, berpakaian dan basic manners lainnya. Lalu tentang bagaimana adab bertamu, meminta tolong, bertanya atau meminta informasi, dan banyak lagi.
Supaya tidak terkesan seperti buku panduan yang membosankan, saya akan membuat tulisan dalam bentuk faksi. Penggambaran satu kasus nyata (dalam bentuk cerita dengan beberapa dialog pendukung) akan saya tampilkan pada awal pembahasan yang akan diikuti bagaimana sebaiknya itu berlaku.
Saya belum menemukan buku-buku yang akan saya pakai sebagai sumber pustaka, tetapi saya akan menggunakan literatur terpercaya seperti dari pusat kebudayaan ( dari kraton Surakarta, misalnya) atau lembaga pengembangan diri seperti John Robert Power (yang saat ini gaungnya hampir tak terdengar). Untuk sementara sumber eferensi justru dari para tetua di keluarga saya, ibu dan ibu mertua saya. Beliau berdua akan saya jadikan narasumber utama dalam penulisan buku ini. Apa yang beliau berdua alami pada masa kecil, masa muda dan rekaman peristiwa yang mereka alami akan menjadi isi wawancara saya.
Baca juga : Catatan dari World Hijab Day 2020
Nah, teman-teman boleh memberi masukan kira-kira poin apa yang perlu saya masukkan dalam tulisan tersebut, ya. Dan sebagai gambaran, saya akan menuliskan beberapa sub judul yang akan saya bahas pada setiap blogpost selama insya Allah 20 hari ke depan.
1. Adab bertamu dan menerima tamu
2. Adab makan dan minum
3. Adab meminta tolong
4. Adab bertanya
5. Adab berbicara dengan orang yang lebih tua
6. Adab berada di tempat umum
7. Adab menjelang tidur dan sesudah (bangun) tidur
8. Adab meminta sesuatu
9. Adab memberi sesuatu
10. Adab menolak pemberian
11. Adab menerima pemberian
12. Adab menanggapi permintaan
13. Adab melewati orang atau sekumpulan orang
14. Adab hendak bepergian
15. Adab datang ke sebuah pertemuan
16. Adab menghadiri undangan atau perjamuan
17. Adab jual beli
18. Adab menengok orang sakit
19. Adab bertetangga
20. Adab takziyah
Nah, itulah kira-kira yang akan saya tulis selama 20 hari ke depan. Daftar tersebut mungkin bisa berubah jika ada sesuatu yang lebih penting untuk dimasukkan. Bahkan daftar tersebut sangat mungkin bisa akan bertambah, sekali lagi sesuai dengan kebutuhan dan bahan tulisan. Apalagi kalau nanti kumpilan blog post ini disusun menjadi sebuah buku, tentu akan membuatuhkan perbaikan disana-sini, termasuk penambahan atau pengurangan materi.
Kalau saya tulis judulnya dengan belajar adab dari orang tua, alasannya adalah bahwa orang tua adalah pihak terdekat yang bisa mengajarkan adab. Orang tua juga memiliki tugas untuk menyiapkan generasi berkualitas.
wah calon buku yang menarik mba … semoga dimudahkan
Belajar adab tak kan ada habisnya ya Mbak Sita… itulah mengapa Rasulullah SAW diutus ke muka bumi, dalam misi memperbaiki akhlak manusia ya
Memang harus diakui Mbak. Zaman now, soal adab terhadap orang tua, termasuk pada yang lebih tua sudah bergeser jauh. Misalnya saat saya duduk menunggu kereta api, anak muda lewat saja tanpa permisi. Terus kalau pun ngomong dengan nada tak bagus. Jadi bagus sekali buku ini diberikan buat generasi sekarang. Karena dengan membaca langsung, terhindar dari nasihat ini itu yang tidak disukai anak-anak.
Wah…keren nih sub-sub judulnya. Pe-er banget nih untuk orang tua mengajarkan dan memberi contoh adab yang benar ke generasi berikutnya.
Urgen adalah adab bilang “tolong” untuk meminta sesuatu ke orang lain dan bilang “terima kasih”. Turus berbicara dengan nada rendah, bukan nada tinggi…